Nilai tukar rupiah berada di posisi Rp14.050 per dolar AS pada perdagangan pasar spot Kamis (10/1). Posisi ini menguat 75 poin atau 0,53 persen dari Rabu (9/1) di posisi Rp14.125 per dolar AS.
Sementara kurs referensi Bank Indonesia (BI), Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) menempatkan rupiah di posisi Rp14.093 per dolar AS atau menguat dari kemarin sore di Rp14.120 per dolar AS.
Rupiah menjadi mata uang terkuat nomor dua di Asia setelah renminbi China yang menguat 0,55 persen. Kemudian, diikuti ringgit Malaysia yang menguat 0,46 persen, dan won Korea Selatan 0,33 persen.
Selanjutnya, mengekor peso Filipina dengan menguat 0,31 persen, yen Jepang 0,17 persen, dolar Singapura 0,11 persen, dan baht Thailand 0,03 persen. Hanya dolar Hong Kong dan rupee India yang terperosok ke zona merah, dengan melemah masing-masing 0,02 persen dan 0,19 persen.
Sebaliknya, mayoritas mata uang utama negara maju justru melemah dari mata uang Negeri Paman Sam. Hanya dolar Australia yang berhasil berlabuh ke zona hijau dengan menguat 0,09 persen.
Sedangkan rubel Rusia melemah 0,45 persen, poundsterling Inggris minus 0,28 persen, dolar Kanada minus 0,22 persen, franc Swiss minus 0,09 persen, dan euro Eropa minus 0,06 persen.
Analis Asia Tradepoint Futures Andri Hardianto mengatakan rupiah berhasil mempertahankan penguatan karena kepercayaan pasar kembali lagi kepada mata uang Garuda.
Hal ini tak lepas dari berbagai sentimen positif yang mempengaruhi laju rupiah. Misalnya, dari global, pengaruh sikap tidak agresif bank sentral AS, The Federal Reserve.
"Optimisme perundingan perang dagang AS-China yang diiringi sikap dovish The Fed masih menjadi katalis positif bagi rupiah," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Kamis (10/1).
Meski, sejatinya perlu juga dicermati sentimen lain yang justru bisa membatasi penguatan rupiah, yaitu harga minyak mentah dunia yang mulai meningkat lagi. "Saat ini, harga minyak mampu naik ke atas level US$50 miliar per barel," ucapnya.
Beruntung, positifnya data ekonomi dalam negeri rupanya turut menopang rupiah, khususnya dari cadangan devisa yang kembali naik dari US$117,2 miliar menjadi US$120,7 miliar.
"Kondisi ini kian mampu menjaga kepercayaan pelaku pasar. Meski tingkat bunga relatif tinggi, sehingga membuat rupiah masih cukup menarik bagi pelaku pasar," terang dia.
Di sisi lain, pelaku pasar masih menanti data ekonomi lain, misalnya pertumbuhan kredit bank dan sektoral. Bila data positif, bukan tidak mungkin penguatan rupiah bisa 'awet'.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar